Bahasa dan Dialek yang Digunakan dalam Masyarakat

Bahasa adalah salah satu ciri khas yang dimiliki oleh manusia untuk membedakan dari makhluk-makhuk yang lain. Bahasa juga berfungsi sebagai alat komunikasi antarmanusia. Hampir tiap daerah mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri dan biasanya disertai dengan logat atau dialek yang berbeda-beda. Hal itu menunjukkan ciri khas masing-masing daerah. Bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, dan alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.

Selain fungsi tersebut di atas, bahasa daerah juga berfungsi sebagai pendukung bahasa kebangsaan. Dalam hal ini bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain. Selain itu juga sebagai alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. Untuk itu kita sebagai warga negara yang baik hendaknya menjunjung tinggi bahasa daerah dan bangga akan bahasa daerah yang dimiliki. Fungsi bahasa secara umum, yaitu untuk berkomunikasi. Kita berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan bahasa. Menurut Prof. Dr. Samsuri (1980), bahasa tidak dapat terpisahkan dari manusia dan mengikuti di dalam setiap pekerjaannya. Mulai bangun pagi-pagi sampai larut malam sebelum tidur manusia tidak lepas memakai bahasa.

Di rumah kita berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain, misal bapak, ibu, kakak, atau adik. Di luar rumah kita berkomunikasi dengan tetangga, di perjalanan apabila naik angkutan umum kita bisa berkomunikasi dengan orang yang di dekat kita, di sekolah atau di tempat kerja kita juga berkomunikasi dengan teman sekolah atau rekan kerja.

Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu. Di Indonesia terdapat ratusan bahasa daerah dan ratusan dialek yang digunakan dalam masyarakat. Dalam penggunaan bahasa dan dialek, kita harus bisa menempatkan di mana kita sedang berada dan kepada siapa kita berkomunikasi, misalnya di kantor, di pasar atau di terminal.

1. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas di kantor
Kantor adalah suatu tempat pelayanan masyarakat yang di dalamnya terdapat pimpinan, pembantu pimpinan, dan staf (karyawan) serta masyarakat yang membutuhkan pelayanan di tempat tersebut.
Misalnya:
  • Bank, di dalamnya ada direktur, wakil direktur, karyawan, dan nasabah bank.
  • Sekolah, di dalamnya ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, dan murid.
Bahasa dan dialek yang digunakan di kantor harus bahasa formal/resmi/nasional, yaitu bahasa Indonesia.
Di kantor, kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Misalnya kita menyapa/memberi salam kepada rekan kerja pada pagi hari: “Selamat pagi, Pak/Bu!”.

Apabila di sekolah, para guru khususnya harus menggunakan bahasa Indonesia yang benar sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia, mulai tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Para murid/siswa harus diajak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Contoh guru membuka/memulai pelajaran di ruang kelas XI, mata pelajaran antropologi. “ Selamat pagi, anak-anak!, pada pertemuan kali ini kita akan membahas materi bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas masyarakat di kantor”.

2. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas masyarakat di pasar
Pasar adalah suatu tempat pelayanan umum yang di dalamnya terdapat penjual, pembeli, pengangkut barang, petugas kebersihan, dan sebagainya. Jadi, komunitas masyarakat di pasar lebih bervariasi, baik itu pekerjaan, pendidikan, usia, pakaian yang dikenakan, dan sebagainya. Bahasa dan dialek yang digunakan di pasar tradisional adalah bahasa daerah setempat. Misal: di Pasar Johar Semarang (Jawa Tengah), komunitas masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa.

Contoh dialog antara penjual dan pembeli dengan menggunakan bahasa Jawa.
– Pembeli “Endhoge sekilo regane pira?”
(Telornya satu kilogram harganya berapa?).
– Penjual “Wolungewu limangatus rupiah, Bu”.
(Delapan ribu lima ratus rupiah, Bu).

3. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas masyarakat di terminal
Terminal adalah tempat pemberhentian dan pemberangkatan angkutan umum bus dari dan ke berbagai jurusan.

Di dalam lingkungan terminal terdapat kepala terminal, petugas administrasi, kebersihan, dan keamanan. Juga ada awak bus (sopir, kernet, kondektur), penumpang, pedagang di kios, pedagang asongan, pengamen, dan pengemis.

Komunitas masyarakat di terminal yang beraneka ragam tersebut menjadikan bahasa yang mereka gunakan juga beberapa macam, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Misal: Komunitas masyarakat di terminal Lebak Bulus Jakarta menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Sunda dan Betawi).

Berikut ini beberapa bahasa dan dialek yang ada di Indonesia.

1. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa tergolong subkeluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Melayu – Polinesia. Bahasa Jawa telah dipelajari dengan saksama oleh sarjana-sarjana Inggris, Jerman, dan terutama Belanda. Pada umumnya mereka menggunakan metode-metode filologi dan bukan metode-metode linguistik. Bahasa Jawa memiliki suatu sejarah kesusastraan yang dapat dikembalikan pada abad ke-8. Pada masa itu bahasa Jawa telah berkembang melalui beberapa fase yang dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda dari setiap pujangganya. Dengan demikian kecuali bahasa Jawa sehari-hari, masih ada bahasa Jawa kesusastraan yang secara kronologi dapat dibagi ke dalam enam fase sebagai berikut.
  1. Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam prasasti-prasasti keraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10 dipahat pada batu atau diukir pada perunggu, dan bahasa seperti yang dipergunakan dalam karya-karya kesusastraan kuno abad ke-10 hingga ke-14. Sebagian kecil dari naskah-naskah Jawa Kuno yang kita miliki sekarang dibuat di Jawa Tengah dan sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Kita tidak mengetahui sampai di mana idiom bahasa kesusastraan Jawa Kuno yang seluruhnya ditulis dalam bentuk puisi (kakawin) itu juga digunakan dalam bahasa sehari-hari pada saat itu.
  2. Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Jawa Bali. Kesusastraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Setelah kedatangan Islam di Jawa Timur, kebudayaan-kebudayaan Hindu-Jawa pindah ke Bali dan menetap di sana. Bahasa kesusastraan ini hidup terus sampai abad ke-20, tetapi ada perbedaan yang pokok dengan bahasa yang dipakai sehari-hari di Bali sekarang.
  3. Bahasa yang dipergunakan dalam kesusastraan Islam di Jawa Timur. Kesusastraan ini ditulis pada zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu– Jawa di daerah aliran Sungai Brantas dan daerah hilir Sungai Bengawan Solo pada abad ke-16 dan ke-17.
  4. Bahasa kesusastraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah Pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara Pulau Jawa pada abad ke-17 dan ke-18, oleh masyarakat Jawa sendiri disebut kebudayaan Pesisir. Orang Jawa juga membedakan antara kebudayaan Pesisir yang lebih muda, yang berpusat di kota Pelabuhan Cirebon dan suatu kebudayaan Pesisir Timur yang lebih tua yang berpusat di Kota Demak, Kudus, dan Gresik.
  5. Bahasa kesusastraan di Kerajaan Mataram. Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya-karya kesusastraan para pujangga keraton Kerajaan Mataram pada abad ke-18 dan ke-19. Lingkungan Kerajaan Mataram terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah kompleks Pegunungan Merapi, Merbabu, Lawu di Jawa Tengah, di mana bertemu juga lembah Sungai Opak dan Praga.
  6. Bahasa Jawa masa kini. Bahasa Jawa masa kini adalah bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari masyarakat Jawa dan dalam buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa pada abad ke-20 ini.
Adat sopan santun Jawa menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat. Kondisi tersebut tergantung dari tipe interaksi tertentu yang memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara. Sebelum Perang Dunia I mobilitas sosial akibat pendidikan dan kemajuan ekonomi mengacaukan tingkat-tingkat sosial Jawa tradisional berdasarkan kelas, pangkat, dan senioritas. Oleh karena itu, untuk menentukan kedudukan seseorang dalam interaksi sosial menjadi sulit. Adakalanya seseorang harus berbicara dengan orang yang lebih tua, tetapi yang pangkatnya lebih rendah, seorang yang lebih muda, tetapi memiliki kekayaan yang lebih besar, atau seorang dari lapisan yang lebih tinggi tetapi dengan pangkat lebih rendah. Keadaan seperti itu dapat menimbulkan suasana yang canggung bagi kedua belah pihak. Kesulitan itu menyebabkan orang-orang Jawa yang sudah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda mulai menghindari adat sopan santun dalam penggunaan bahasa Jawa yang terlalu rumit dan lebih memilih menggunakan bahasa Belanda.

Sudah sejak tahun 1916 ada suatu gerakan bernama Djawa Dipo yang dirintis oleh orang-orang Jawa yang bersemangat progresif ingin menghapuskan gaya-gaya bertingkat dalam ajaran bahasa Jawa dan hanya menggunakan Ngoko sebagai bahasa dasar. Reaksi terhadap kampanye ini pada umumnya timbul dari kalangan bangsawan yang menyarankan bahwa; apabila gaya-gaya bertingkat dalam bahasa Jawa harus dihapuskan, sebaiknya yang dipertahankan adalah gaya Kromo dan bukan Ngoko sebagai dasar dari bahasa Jawa. Dengan demikian mereka tidak memakai suatu gerakan baru bernama Krama Dewa.
Perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat orang Jawa sesudah Perang Dunia ke II mempunyai pengaruh yang lebih besar lagi terhadap sistem gaya-gaya bertingkat dalam bahasa Jawa. Kebanyakan dari orang Jawa yang lahir sesudah zaman itu tidak lagi berusaha menguasai sistem yang rumit. Proses perubahan dari suatu masyarakat agraris tradisional dan feodal ke suatu masyarakat industri yang modern dan demokratis yang sekarang berlangsung, dengan sendirinya juga menyebabkan adat sopan santun dalam penggunaan bahasa Jawa mengalami penyederhanaan. Kecuali perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam gaya-gaya bertingkat yang disebabkan karena perbedaan kelas, kedudukan, pangkat, dan senioritas. Bahasa Jawa juga mempunyai berbagai logat berdasarkan perbedaan geografis. Th. Pigeud telah menyatakan bahwa sejarah dialek-dialek Jawa dan persebaran dari bahasa Jawa ke semua daerah di mana bahasa itu dipergunakan sekarang, tidak banyak diketahui oleh para ahli.

Ia juga menyatakan bahwa mungkin sekali dahulu sungai-sungai merupakan sarana lalu lintas, sehingga dengan sendirinya bahasa yang dipakai oleh penduduk dari suatu daerah aliran sungai menunjukkan persamaan idiom yang berbeda dengan bahasa yang dipakai oleh penduduk di lembah-lembah sungai yang lain.

2. Bahasa Gayo
Dalam berbagai karangan sering dinyatakan bahwa orang Gayo dan Alas merupakan suatu kesatuan kebudayaan, misalnya saja Van Vollenhoven menggolongkan keduanya dalam satu lingkaran hukum adat. Apabila di lihat dari segi bahasa, pada dasarnya bahasa Gayo dan bahasa Alas berbeda. Kata-kata dan bentuk bahasa Alas banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa, seperti bahasa Karo, Pakpak, Singkil, Aceh, dan Gayo. Jadi, bahasa Gayo hanyalah salah satu bahasa yang turut memengaruhi. Menurut pendapat para ahli dikatakan bahwa bahasa Alas dapat dianggap sebagai dialek ketiga dari bahasa Batak Utara di samping dialek Karo dan Dairi.

Dalam kenyataan, kelompok orang pemakai bahasa Gayo dan kelompok pemakai bahasa Alas, dalam keadaan biasa (sebelum mempelajari lebih dahulu) mereka saling tidak memahami satu dengan yang lain. Namun demikian, tentu saja antara kedua bahasa ini ada unsur-unsur persamaan tertentu. Keadaan yang sama tampak juga antara bahasa Gayo dan bahasa Aceh, meskipun kedua bahasa ini hidup bertetangga. Pengaruh bahasa Aceh mungkin akan lebih banyak dirasakan pada kedua kelompok orang Gayo, yaitu kelompok orang Gayo Seberjadi dan Gayo Kalu. Hal itu dikarenakan letaknya yang dikelilingi oleh lingkungan bahasa Aceh di samping jumlah pendukungnya yang sangat kecil.

Seperti diketahui bahwa orang Gayo terbagi atas beberapa kelompok, yaitu kelompok orang Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Seberjadi, dan Kalul. Masing-masing kelompok ini dipisahkan oleh batas alam dengan prasarana komunikasi yang buruk, sehingga sulit terjadi kontak antara satu kelompok dengan yang lainnya. Kontak yang terjadi terbatas antara kelompok-kelompok ini dalam jangka waktu yang relatif lama, dan berbedanya pengaruh luar yang diterima, telah menyebabkan terlihatnya variasi dalam bahasa mereka. Dilihat dari segi bahasa, kelompok orang Gayo telah digolongkan oleh sebagian orang ke dalam dua dialek. Pertama dialek Gayo Lut, yang terbagi pula ke dalam tiga sub dialek, yaitu subdialek Bukit, Cik, dan Deret. Dialek Gayo Lues juga terbagi ke dalam subdialek. Seberjadi sendiri meliputi sub-sub dialek Seberjadi dan Lukup.

Berikut ini contoh dari variasi-variasi tertentu dalam kata-kata pada subdialek Gayo Lues, Gayo Deret, dan Gayo Lut. Pada subdialek Gayo Lut itu diperlihatkan beberapa variasi dari Bukit dan Cik.

3. Bahasa Tolaki
Penelitian terhadap bahasa Tolaki belum banyak dilakukan oleh para sarjana, kecuali H. Van der Kliftn yang pernah menulis karangan dengan judul Mededelingen Over de Faal van Mekongga.

Ditinjau dari segi lapisan sosial pemakainya, penggunaan bahasa Tolaki, seperti juga kebanyakan bahasa yang lain, tampak bervariasi dalam beberapa gaya. Masyarakat Tolaki sendiri membedakan jenis bahasa Tolaki menjadi tiga, yaitu tulura anakia (bahasa golongan bangsawan), tulura lolo (bahasa golongan menengah), dan tulura ata (bahasa golongan budak).

Bahasa golongan bangsawan adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara sesama golongan bangsawan. Jika seseorang dari golongan menengah atau golongan budak berbicara kepada seorang golongan bangsawan maka ia juga menggunakan kata-kata dalam bahasa golongan bangsawan. Contoh: bahasa golongan bangsawan, misalnya perkataan: ipetaliando inggomiu mombe’ihi. Perkataan tersebut dalam bahasa golongan menengah untuk sesamanya akan diucapkan leundo ponga. Contoh lain: ipe’ekato inggomiu mekoli untuk golongan bangsawan, sedangkan untuk golongan menengah lakoto poiso. Bahasa bangsawan ini dalam wujudnya penuh dengan aturan sopan santun. Bahasa ini juga disebut bahasa mombokulaloi, bahasa mombe’owoso, bahasa metabea, dan bahasa mombona’ako. Bahasa bangsawan pada hakikatnya adalah suatu pandangan yang melihat golongan bangsawan sebagai manusia yang lebih dalam banyak hal karena darah keturunannya, ilmunya, dan kekuasaannya yang lebih tinggi.

Bahasa golongan menengah adalah bahasa yang dipakai di kalangan umum masyarakat. Berbeda dengan bahasa golongan bangsawan yang penuh dengan perasaan melebihkan, meninggikan, dan membesarkan. Pada bahasa ini antara pembicara dengan pendengar tak ada perbedaan derajat meskipun berbeda umur dan status sosial dalam masyarakat. Contoh: bahasa golongan menengah Leundo atopongga artinya mari kita makan, akuto mo’iso artinya saya sudah akan tidur, imbe nggo lako’amu artinya ke mana hendak kau pergi.

Bahasa golongan budak adalah bahasa yang dipakai dalam kalangan budak. Bahasa ini disebut juga bahasa dalo langgai (bahasa orang-orang bodoh), maksudnya bahasa yang kurang mengikuti aturan-aturan bahasa umum agar mudah dipahami oleh pendengarnya. Bahasa ini tampak dalam wujud tulura bendelaki (bahasa gagah tetapi sesungguhnya kosong isinya), tulura magamba (bahasa yang menunjukkan kesombongan), dan dalam wujud tulura te’oha-oha (bahasa yang paling kasar kedengarannya sebagai lawan dari bahasa sopan santun, yang berlaku pada bahasa golongan bangsawan). Contoh: bahasa golongan budak: akuto mongga me’aroakuto artinya saya sudah akan makan karena saya sudah lapar, akutolako merumbahako mokombo’i songguto artinya saya sudah akan pergi berbaring karena saya sudah mengantuk.

Ditinjau dari segi teknik berbicara dan makna pembicaraan serta maksud dan tujuan pembicaraan, tentu juga ada dalam bahasa Tolaki. Berbagai gaya bahasa, seperti bahasa resmi, bahasa akrab, bahasa kiasan, dan sebagainya. Namun yang khusus dalam bahasa Tolaki adalah bahasa lambang kalo, yaitu bahasa isyarat dengan menggunakan kalo sebagai alat ekspresi dan komunikasi. Tanpa berkata-kata, penerima bahasa lambang kalo telah dapat memahami maksud dan tujuan dari pemakai. Bahasa lambang kalo itu sendiri mengandung makna tertentu.

Selain dari gaya bahasa seperti di atas, orang Tolaki juga mengenal adanya bahasa yang disebut tulura ndonomotuo, tulura mbandita atau tulura andeguru, tulura ndolea, atau tulura mbabitara dan tulura mbu’akoi. Bahasa orang tua adalah bahasa yang dipakai oleh orang tua dalam memberikan nasihat, petuah, ajaran-ajaran leluhur bagi hidup dan kehidupan, terutama kepada generasi muda. Bahasa ulama adalah bahasa seorang ulama dalam berbicara mengenai ilmu dan pengetahuan tentang dunia hakiki, dunia metafisika, dunia gaib, dan dunia akhirat. Bahasa upacara adat adalah bahasa yang dipakai juru bicara dalam urusan adat perkawinan dan urusan peradilan. Dalam peradilan adat, bahasa ini tampak dalam wujud harapan-harapan agar pihak yang bersengketa dapat damai. Adapun dalam urusan perkawinan, misalnya dalam peminangan, bahasa ini tampak dalam wujud kata-kata mempertemukan agar kedua belah pihak dapat saling cocok dengan apa yang harus diputuskan menurut sewajarnya sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Seorang juru bicara dalam urusan perkawinan biasanya mengemukakan pernyataan-pernyataan yang banyak memberikan pujian terhadap pihak keluarga wanita dan merendahkan pihak keluarga pria, serta kata-kata yang melukiskan hal-hal yang lucu, sehingga upacara menjadi lebih ramai dan lebih akrab.

Bahasa dukun adalah bahasa seorang dukun yang tampak baik pada upacara-upacara yang bersifat ritual maupun ketika membicarakan mengenai makhluk halus dan dunia gaib.

Bahasa dukun banyak mengandung pernyataan-pernyataan menyembah, memuja, memuji, dan meminta perlindungan terhadap makhluk halus, roh nenek moyang, dewa, dan Tuhan. Hal itu bertujuan agar dirinya dan orang yang diupacarakan terhindar dari aneka ragam bala dan bencana, serta mengharapkan berkah dari mereka. Bahasa dukun ini disebut juga tulura mesomba (bahasa menyembah) dan tulura mongoningoni (bahasa minta berkah).

Pembicaraan mengenai penggunan bahasa Tolaki dan penggolongannya yang terurai di atas disebut varietas linguistik. Hubungan sistematik dengan faktor-faktor sosiolinguistik yang menentukan seleksi dari salah satu varietas itu tampak pada peranan dan status peserta dalam interaksi (pembicara dan pendengar) dan pada topik yang dibicarakan. Kerangka inilah yang digunakan dalam meluluskan jenis-jenis bahasa Tolaki. Dalam hal ini misalnya ulama mempunyai status serta peranan tertentu. Oleh karena itu, digunakan jenis bahasa tertentu yang mempunyai status dan peranan yang berbeda. Demikian pula dengan topik untuk bahasa ilmu pengetahuan, misalnya peranan peserta baik pembicara maupun pendengar pada saat tertentu dapat konstan dan pada saat yang lain dapat berubah. Demikian halnya topik yang dibicarakan dapat konstan dan dapat pula divariasikan.

Perbedaan-perbedaan yang tampak pada variasi bahasa Tolaki menurut lapisan sosial pemakainya adalah perbedaan-perbedaan yang bersifat gramatikal dan ungkapan-ungkapan yang dipakai hanya terbatas pada penggunaan dalam masing-masing golongan dan tidak dipakai di luar golongan yang bersangkutan. Dalam hal ini, penggunaan kata dan ungkapan tersebut sama untuk semua golongan. Adapun perbedaan antara satu isi atau makna saja disebabkan oleh perbedaan status sosial. Bangsawan mampunyai perhatian berbeda dengan rakyat, ulama berorientasi pada agama, cendekiawan pada ilmu pengetahuan, sedangkan dukun karena pekerjaannya lebih banyak berbicara tentang pengobatan.
Lebih baru Lebih lama